Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

TEOLOGI PEMBEBASAN

“Kriteria kebenaran untuk analisis dan refleksi adalah  praksis itu sendiri sebagai data pertama.”
(Gustavo Gutierrez)

TEOLOGI PEMBEBASAN
Oleh, Fr. Marius Goo

Abstraksi
Pada kesempatan ini saya memaparkan Teologi Pembebasan. Teologi Pembebasan Sebagai sebuah ilmu yang memiliki kesejarahan dan metode. Teologi Pembebasan dikembangkan oleh para Teolog Pembebas. Realitas nyata atau praksis hidup adalah lokus Teologi Pembebasan. Teologi Pembebasan membeda realitas berdasarkan Ajaran Iman Kristiani, yakni cinta kasih Allah, Kerajaan Allah, Salib, Gereja dan Praksis Hidup Yesus dalam hubungannya dengan umat beriman. Teologi Pembebasan mengundang segenap umat untuk mendirikan Kerajaan Allah secara nyata, real di dunia ini dan saat ini.
Kata Kunci: Teologi, Salib, Pembebasan, cinta kasih, Allah, Yesus Pembebas, Umat Beriman, Realitas praksis.

Selayang Pandang
Teologi pembebasan pada awalnya muncul di Eropa abad ke dua puluh dan memiliki studi penting bagi agama-agama untuk melihat peran dalam memberbasakan manusia dari ancaman globalisasi dan menyadarkna manusia dari berbagai dosa atau penyakit sosial, serta menawarkan paradigma untuk memperbaiki sistem sosial bagi manusia yang telah dirusak oleh sistem  dan ideologi dari perbuatan manusia sendiri. Sedangkan Amerika Latin dan Asia untuk melawan kekuasaan hegemoni dan kekuasaan yang otoriter. Francis Wahono menulis, Teologi Pembebasan Amerika Latin adalah Teologi yang paling banyak dibicarakan, dikritik  dan diagungkan; tetapi juga Teologi yang paling tidak dimengerti.[2] Jika Teologi Pembebasan Amerika Latin  dimengerti maka Pembebasan adalah sebuah proses. Proses itu bukan pendek dan mudah, melainkan panjang, sulit dan memiliki aneka tantangan. Para penganut Teologi Pembebasan berjuang meruntuhkan atau  melumpuhkan globalisasi ekonomi dan politik-ideologi yang memenderitakan tanpa kekerasan.

Para Teolog Pembebas

Tokoh-tokoh yang memprakarsai perkembangan Teologoi Pembebasan diantaranya; Amerika Latin Jon Subrino, Gustavo Gutierrez, Leonardo Boff, James H. Hone dan Maria Pilar Aguino. Asia Tissa Balasurya, Sadayandy Batumali, Aloisius Pieris, dan J. B. Banawiratma dan Romo Wahono. Di Indonesia Romo Mangunwijaya, Abdurrahman Wahid, T. H, Sumartana. Papua…? Mereka bertologi untuk memperjuangkan rakyat demi kemanusiaan, melakukan perubahan ke arah keadilan dan kesejahteraan masyarakat sendiri.[3]

Metode Teologi Pembebasan

Pokok-pokok yang selalu ada pada setiap Teolog dalam berteologi, hampir sama, apa pun cabangnya. Metodologi ini selalu dipergunakan dalam berteologi, yakni diantaranya: 1) Materi subjek Teologi. (2) Konteks kultural sezaman. (3) Pendengar atau publik/audiens. (4) Pelaku teologi. (5) Kategori penalaran. (6) Arah tindakan berteologi. Walau pun demikian, karena konteks permasalah yang berbeda, kadang berbeda dalam berteologi pula. Teologi Pembebasan sendiri juga memiliki metode yang berbeda. Misalnya, metode teologi Eropa sebagaimana diajukan oleh Rahner (1969), Lonergan (1972), dan Tracy (1975).[4]
Teologi Pembebasan pun memiliki metode yang berbeda sesuai konteks dan subjek yang berteologi. Misalnya, Gustavo Gutierrez (1973) dengan tiga langkah berteologi sebagaimana dipahami oleh (Hennelly (1977) yakni,

Pertama, Komunitas Kristiani dipanggil untuk suatu praksis yang definitive, komitmen untuk pelayanan kemanusiaa. Berjuang membebaskan manusia dari belenggu penyakit sosial yang mengingkari kemanusiaan dan dosa yang merusak hubungan dengan Tuhan. 

Kedua,  Teologi harus menjadi kritis dalam terang Injil baik terhadap masyarakat umum maupun terhadap Gereja sebagai institusi. Membebaskan Lembaga Pemerintah juga Gereja dari macam-macam ideologi, keberhalaan dan alienasi. Mengkritisi praktek pastoral yang lebih menjurus aktivisme. 
Ketiga, Teologi berefleksi tentang praksis iman dalam terang masa depan dapat dipercaya dan diharapkan.
Segundo (1977) dinamakannya dengan Lingkarang Hermeneutika. Pertama, cara kita mengalami. Kedua, kesangsian ideologi “superstruktur” sebagai ideologi yang beku. Ketiga, kesaksian eksegetis. Keempat menginterpretasikan kitab suci dalam cara baru yang kaya. Selanjutnya Jon Subrino (1978) pertama, pertobatan kembali kepada Tuhan dan komitmen kepada Kristus terjadi melalui pertobatan kepada sesama manusia dan komitmen terhadap pelayanan bagi mereka yang menderita segala bentuk penindasan. Kedua, ada hubungan akrab antara sejarah keselamatan (pembebasan) mereka yang miskin. Sehingga bekerja sama dengan Kristus Sang Penyelamat dan masuk dalam karya keselamatan. Ketiga, tugas pembebasan haruslah dipandang sebagai antisipasi datangnya Kerajaan Allah. Kerajaan yang bercirikan keadilan, persamaan, persaudaraan dan persekutuan solidaritas. Keempat, praksis pemebasan adalah aktivitas yang mentransformasi masyarakat yang menguntungkan mereka yang tertindas, merupakan praktek cinta kasih Kristiani. Cinta Kristus dijelmakan dalam praksis sejarah kehidupan nyata.  
Segundo mengikuti penjelasan Hennelly, mempraktekan teologinya, yakni:
§  Mengembalikan arti sistuasi yang parah tak berperikemanusiaan, baik ateistis maupun nonmanusiawi kepada kehidupan yang sejati.
§  Membebaskan atau mentransformasi realitas kesengsaraan.
§  Rekonsiliasi hanya mungkin dalam usaha menyelesaikan krisis realitas. Percaya kepada Tuhan hanya mungkin dalam praksis pembebasan.
§  Praksis sendiri mendorong refleksi. Untuk transformasi dunia.
§  Mengikuti Yesus dengan sungguh-sungguh (praksis) memungkinkan pemahaman akan Yesus (refleksi).
§  Penggerak Teologi adalah jeritan yang tertindas
§  “Kematian manusia” dalam Kristus Penyembuh krisis sosial
§  Penyelesaian fungsional dan parsial adalah penting dalam mengatasi anaka bentuk persoalan
§  Bertolak dari sejarah pembebasan Amerika Latin tanpa hendak menguniversalkannya untuk semua sejarah dan negara
§  Sumber-sumber iman menerangi realitas sejauh sumber-sumber iman diterangi oleh realitas.
§  Mengatasi dualisme paling radikal, (teori dan praksis, subjek yang percaya dan sejarah yang ada).

Teologi Pembebasan sebagai Gerakan Bart
1.      Paradigma pembebasan
Paradigma Pembebasan merupakan penegasan dari paradigma penyelamatan. Intinya manusia secitra dengan Allah yang kudus, artinya bebas dari segala bentuk dosa. Dosa hadir karena kesombongan dan keserakahan. Dosa memenjarahkan manusia, terkungkung dalam belenggu dosa dan kebebasan kodrati hilang. Untuk memulihkan keterputusan hubungan dengan Allah akibat dosa, Allah mengasihi secara penuh dalam diri Yesus Putera-Nya. Kristus diurapi untuk menjadi panutan dan jembatan pulihnya kebebasan anak-anak bangsa pilihan Allah. Dipilih untuk mengarungi hidup yang oleh kebanyakan orang tidak disukai dan ditentang, terlebih mereka yang merasa dikritik, disaingi dan dipojokan oleh perbuatan membela kebenaran dan keadilan.
Paradigma pembebasan merupakan hasil hermeneutika atas teks-teks kontekstual. Dengan cara koreksi, interpretasi dan afirmasi. Misalnya teks motto dari Revolusi Prancis: Liberty, equality and fraternity.
2.      Praksis pembebasan
Pertama-tama harus diingat bahwa meskipun kemerdekaan, persaudaraan, keadilan sosial dan kerakyatan adalah perjuangan manusia universal, semua merupakan hasil hermeneutika. Letak atau prasksis pembebasan adalah kemandirian dan hormat pada semua manusia, memperjuangkan hidup harmonis dalam kemajemukan. Yang dimaksud adalah tidak ada manusia (pihak) yang merasa dirugikan, disakiti, bahkan dilukai dan dibunuh. Teolog Pembebas memahami bahwa praktek otoritarian maupun praktek kekerasan melanggar kemanusiaan.
Teologi Pembebasan mengusung pentingnya penghargaan pada kemanusiaan. Perbedaan dan keunikan yang ada bukan untuk saling memusuhi dan melenyapkan, terutama untuk mereka yang terpinggirkan dan miskin, melainkan untuk saling membantu dan membebaskan.
3.      Praksis Perjuangan Gereja Amerika Latin Untuk Pembebasan
Gustavo Gitierrez (peru, 1928) mencoba mengungkapkan situasi masyarakat Amerika Latin. Gutiierrez mengarisbawahi melalui analisis ilmu-ilmu sosial membangun refleksi Teologi sendiri.[5] Gutierrez menjelaskan bahwa keterbelakangan Amerika Latin dan ketidakadilan yang melanda adalah produk kemakmuran negara-negara kaya, produk dari sistem kapitalisasi yang bercokol di Amerika Latin. Realitas ini Gustavo meminta untuk melakukan perombakan, “hubungan antara negara kaya dan miskin yang ada sampai saat kini selalu merugikan negara miskin. Kemajuan negara-negara dunia ke tiga akan terjadi, kalau bentuk-bentuk hubungan dengan kegara kaya dirombak.” Negara-negara Amerika Latin dalam kenyataannya dari dulu sampai sekarang sangat bergantung pada negara luar, dan situasi ketergantungan inilah yang menjadi sebab kurang majunya mereka.[6]
Pada tahun 1967 di El Savador banyak orang mengadakan pencarian kemungkinan baru akan kehidupan yang lebih adil, tanpa memandang latar belakang ekonomi dan politik. Dalam Gereja umat bergulat untuk mengadaptasikan semangat baru yang dimulai oleh para bapa Konsili Vatikan II (1962-1965), menempatkan diri dalam dunia yang beragam  budaya dan agama. Menjadi pemimpin yang “terbuka terhadap sejarah dan dalam sejarah kepada tanda-tanda zaman.”[7] Serikat Yesus mulai menganggapi zaman yang baru dan memilih berkarya pastoral yang paling tanggap.[8]  Dalam situasi sosial-politik yang kacau, kenyataan yang akan tercipta ialah martabat manusia direndahkan.
“Realitas sejarah menunjukkan, kenyataan El Savador, kenyataan dunia ke tiga, merupakan kenyataan utama dunia ini, kenyataan yang paling utama dunia ini, kenaytaan yang laing universal, yang secara mendasar ditandai dan dimenangkan oleh dominasi ketidakbenaran atas kebenaran, ketidakadilan atas keadilan, penindasan atas kebebasan, kemiskinan atas kelimpahan. Kesimpulannya, dominasi kejahatan atas kebaikan.”[9]
Isi Teologi Pembebasan Amerika Latin
Memiliki kesangsian atas situasi yang mapan. Tidak teralienasi dengan situasi yang ada, juga tidak dialinasi dengan cara atau bentuk apa pun.
1.      Kedosaan manusia: kita telah mengetahui bahwa dosa merupakan keadaan di mana  kerjaaan kejahatan memerintah dan berkuasa. Setan dan kebijakan setan mulai dikerahkan untuk memperbutkan manusia menjadi bagian darinya. Terhadap dosa, hukum dan akibat dosa tidik bisa ditoleransi.[10] Dosa diciptakan oleh manusia yang tidak mengenal kebaikan dan kemuliaan martabat manusia, baik diri juga sesama. Dosa dipraktekan tanpa sadar, tersamar, bahkan dengan penuh kesadaran. Dosa harus disadarkan dan dicerahkan, dosa harus dilawan dan dilenyapkan. Hilangnya dosa bertanda Kerajaan Allah telah didirikan, secara nyata dan dialami oleh segenap manusia tanpa terkecuali di seluruh dunia. Mendirikan Kerajaan Allah mulai dari pribadi, keluarga sendiri, suku atau masyarakat sendiri dan seluruh dunia secara bersama.
2.      Kerajaan Allah: kita sudah lihat di atas bahwa Kerajaan Allah telah didirikan, maka kerajaan setan dengan segala alat kelengkapan juga sistemnya digulingkan, dilenyapkan tersipuh dibawa kekuasaan Allah. Manusia baik  adalah pion-pion yang ditugaskan, diutus oleh Allah untuk mendirikan Kerajaan-Nya secara nyata. Manusia ambil bagian dalam Yesus Kristus, utusan Allah dalam mendirikan Kerajaan Allah dan bahkan secara radikal, melalui “Jalan Salib.”
3.      Yesus Kristus Sang Pembebas: Ungkapan ini seolah-olah dipahami bahwa Yesus berpolitik atau Yesus sebagai politikus. Benar bahwa Yesus adalah seorang politikus, Yesus mengajarkan politik Allah, yakni memperjuangkan kebaikan, kehidupan, kesejahteraan, persamaan dan persaudaraan, keadilan dan keselamatan. Jika Yesus Kristus dipahaminya dari segi “Penyelamat,” logos, ide, bersifat adikodrati, juga transenden, terjadi “kegagalan pemahaman.” Sebab Yesus 100% Allah juga 100% manusia. Yesus dipahami sebagai Pembebas (Mesias) merupakan suatu pemahaman bahwa Yesus memang seorang Nabi, Pahlawan juga Politikus yang memperjuangkan terwujudnya Kerajaan Allah di dunia. Bagaimana menjadi pahlawan, politikus sejati juga pembebas hanya dapat ditemukan dalam diri Yesus. Karena itu Yesus menjadi petunjuk sekaligus memberikan petunjuk dalam dua cara yang saling berhubungan erat:

a.       Salib Yesus: Salib Yesus menunjukkan kemanusiaan Yesus, dan bagaimana memperjuangkan kehidupan untuk memperbutkan kehidupan yang dijajah oleh dosa, kejahatan dan maut. Salib merupakan tanda perjuangan, usaha mencapai keberhasilan, kemenangan, kemerdekaan atau puncak kebangkitan.
b.      Kebangkitan Yesus: Kebangkitan Yesus merupakan suatu pengharapan utopis, juga pengharapan profetis, namun sekaligus dialami oleh Yesus. Dengan demikian, kebangkitan tidak hanya sebatas pengharapan melainkan juga kenyataan, tidak hanya dialami nanti, namun juga sudah dialami oleh Yesus. Kebangkitan merupakan kenyataan (Yesus) juga harapan orang Kristiani. Tanpa kebangkitan, sia-sialah iman Kristiani.
4.      Gereja: Teologi Pembebasan mengangkat atau membicarakan Gereja. Bagaimana Gereja hadir sebagai wadah pencari solusi atas persoalan yang dialami dunia sekarang ini. Misi Allah “Missio Dei”[11] yang diejawantahkan oleh Gereja harus dikumandangkan secara segera dan lantang. Gereja menunjukkan Allah yang berkarya di mana-mana, mencintai siapa saja mesti diwartakan secara profetis.[12] Gereja diutus oleh Allah untuk menjadi “sakramen universal keselamatan.”[13] Karena itu Gereja tidak bisa berpangku tangan, Gereja tidak bisa diam terhadap perilaku dosa, dan akibat-akibat dosa yang berujung menuai maut. Keberpihakan Gereja untuk semua manusia, terlebih mereka yang menangis, tersisihkan dan teralienasi harus jelas. “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemaasan murid-murid Kristus juga.”[14]
5.      Eksegese dan Ekaristi: Dalam mewartakan “Sabda Tuhan,” eksegese amat penting. Eksegese yang tidak jelas akan menjadi absurd dan penyesatan. Jika tidak dipahami secara benar tentang “Sabda Tuhan” dan diwartakan “Sabda Tuhan” secara hurufiah dan harafiah, Sabda Tuhan akan menjadi bom pemusnah. Eksegese Sabda Tuhan butuh keseriusan dan pemahaman yang memadai atas teks Kitab Suci yang diwartakan. Eksegese Kitab Suci mengandung: konteks, teks, struktur, sastra, kandungan teologis dan konteks pewartaan. Selanjutnya Ekaristi adalah puncak perayaan iman. Di mana umat kembali bersekutu, berkumpul bersama Yesus untuk merayakan perjamuan kudus. Ekaristi merupakan perayaan pengenangan, sekaligus perayaan kehadiran Yesus secara nyata dalam rupa “roti dan anggur.” Perayaan Ekaristi memberikan peluang untuk umat bersekutu, bersatu kembali, menimbah kekuatan untuk memperjuangkan kehidupan nyata yang menyakitkan dan menindas. Ekaristi adalah kekuatan umat Kristiani untuk melawan dosa, kejahatan, penjajahan dan kematian. Karena itu Ekaristi adalah usaha Allah untuk memperbutkan manusia yang terjajah kejahatan dan dosa kepada kehidupan, keselamatan dan kemerdekaan.
6.      Iman dan manusia baru: Iman merupakan tanggapan manusia terhadap wahyu Allah. Iman artinya manusia mengiyakan untuk Allah masuk dalam dirinya. Wahyu Allah ialah segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah dan kehadiran Allah melalui semua ciptaan itu. Karena itu manusia menemukan Allah dalam segala-sesuatu, karena itu pula manusia tidak menggunakan segala sesuatu secara semena-mena, apalagi merusakannya. Kehadiran Allah berpuncak dalam diri Yesus Kristus, Allah ditemukan secara langsung dalam diri Yesus Kristus. Allah telah mandatangi manusia lebih dekat, untuk merasakan, dan mengalami kehidupan manusia secara nyata dan membebaskan manusia dari belenggu kematian. Selanjutnya, para Teolog Pembebas mengungkapkan manusia baru dalam rana pemerdekaan manusia oleh Allah dalam diri Yesus Kristus. Pemerdekaan manusia oleh Kristus dibutuhkan pengiyaan manusia dengan menjadi Kristen melalui “pembaptisan.” Dengan dibaptis manusia dibarui dan menjadi anak Allah. Menjadi manusia baru dalam diri Kristus berarti harapan akan kebangkitan diterima dan kematian bukan untuk ditakuti, bahkan lebih radikalnya kematian harus dicari, namun dalam ranah pemerdekaan dan penyelamatan manusia, dan Yesus telah mencontohkannya.
7.      Misi Gereja: Misi Gereja erat hubungan dengan misi Allah (missio Dei).[15] Misi Allah adalah Kerajaan-Nya terbangun dan semua manusia menggapai Kerajaan Allah. Allah yang adalah kasih, suci dan kudus, manusia membuka diri, sekaligus menawarkan untuk memiliki harapan akan Kerajaan Allah. Misi Allah ditanggapi secara sempurna oleh Yesus Putra tunggal-Nya dengan peristiwa “inkarnasi.” Allah menjadi manusia, karena Allah menginginkan manusia mencapai Allah kembali, setelah manusia kehilangan Allah akibat dosa. Misi Allah dilanjutkan oleh Gereja. Gereja mengambil bagian dalam misi Allah untuk mengembalikan manusia kepada Allah. Mengembalikan manusia kepada Allah adalah mengembalikan manusia pada keadaan manusia awal, atau asali. Mengembalikan manusia di taman Eden, Firdaus dari suasana neraka yang menindas, mengerikan, memendaritakan dan mematikan. Misi Gereja adalah menyelamatkan manusia kembali kepada Allah yang menghendaki keselamatan.   
8.      Kemiskinan Kristiani sebagai Langka Pastoral. Kemiskinan bukan sebuah ideologi, bukan sebuah definisi atau konsep abstrak yang mengundang eksegese, tafsiran atau penalaran logis, melain fakta, atau realitas nyata yang dialami. Kemiskinan kita lihat dengan mata kepala sendiri adalah mereka yang ada, mereka yang tinggal di bawah kolong jembatan, mereka yang mengemis, mereka yang putus sekolah, mereka yang mengikat pinggang karena menahan lapar. Kemiskinan terjadi karena kebutuhan pokok sandang, pangan dan papan belum terpenuhi. Masalah kemiskinan dan penindasan merupakan cerminan dunia secara keseluruhan.[16] Terhadap kemiskinan itu harus disadarkan dicari jalan keluar, jalan pembebebasan atau pembaruan.
a.       Upaya penyadaran: Upaya penyadaran disebut sosialisasi atau konsolidasi. Upaya penyadaran dilakukan karena tercipta alienasi atau ketidaksadaran yang berujung pada kematian buta. Para Teolog Pembebas hadir menggarami dunia kemiskinan, hadir menjadi penerang dalam duni yang abu-abu dan tak menentu. Teolog Pembebas membuka mata dan hati untuk melihat realitas secara nyata dan utuh. Menyadarkan fakta-fakta kemiskinan juga struktur atau sistim pemiskinan yang terjadi. Menunjukkan penyebab kemiskinan dan akibat kemiskinan. Bahkan para teolog pembebas harus ambil tindakan pembebasan baik secara radikal maupun secara moderat demikian kemanusiaan.
b.      Praktek pembebasan: praktek pembebasan tidak harus yang besar dan muluk-muluk, melainkan juga yang kecil-kecil dan sederhana. Mulai dari diri dan dalam keluarga batih. Mulai dengan memenuhi tugas-tugas yang menjadi kewajiban, bahkan dijalankan secara radikal dan tak bercela. Membebaskan diri terlebih dahulu sebelum membebaskan orang lain. Bahasa st. Paulus engkau hanya dapat memberikan apa yang engkau miliki atau engkau tidak akan mungkin memberikan apa yang engkau tidak miliki. Ilustrasinya,  seorang dapat menumpahkan air dalam botol, jika botol itu ada air atau sebaliknya. Karena itu menjadi seorang Teolog Pembebas dan mempraktekan pembebasan tidak lain adalah Teolog itu memiliki Besic Intelec yang memadai.  Bahkan Teolog Pembebas, pada titik tertentu memilih untuk mengikuti Yesus secara radikal menjadi pasti, karena itulah yang diyakini paling benar dan sejati.

Jalan Pembebasan tanpa kekerasan

Teolog pembebasan yang mengembangkan cara ini adalah Jon Subrino. Ia menekankan persaudaraan dan keharmonisan. Komunitas manusia dalam kemajemukan. Menurutnya semua manusia harus merasakan dirinya sebagai manusia. Karena itu, kemanusiaan harus dibelah, terutama yang mereka yang miskin dan tersisihkan “option for the poor.”
Sedangkan Leonardo Boff menekankan Salib. Jalan pembebasan tanpa kekerasan adalah memanggul Salib. Menurutnya harus menderita, dan menderita dalam ungkapan keluhuran manusia. Menderita yang dimaksud bukan dibuat oleh orang entah secara langsung melalui represi militer atau terror dan intimidasi, maupun secara tidak langsung melalui sistem dan struktur dayang tidak adil. melainkan menderita dalam arti bekerja. Allah pun bekerja maka manusia yang memiliki keterbatasan wajib bekerja, wajib berjuang. Penderitaan dalam arti kerja inilah yang dinamakan oleh orang Kristiani sebagai “salib.” Salib itu wajib dipikul bahkan hingga di puncak Golgota, puncak pembebasan. Puncak pembebasan dimulai dari taman Zaitun, taman pergulatan batin, yakni antara menanggung Salib atau menolaknya untuk dipikul.
Salah seorang revolusioner, Mhadma Gandi memprakarsai jalan pembebasan tanpa kekerasan adalah jalan damai. Beberapa cara yang ditempu untuk memperebutkan pembebasan tanpa kekaran. Melakukna longmarch (jalan kaki berkilo-kilo), mengadakan produk-produk lokal untuk memperebutkan pasar, dan ia menjadikan Yesus sebagai idola dalam perjuangan. Baginya Yesus adalah tokoh yang harus diikuti, bukan agama.  Para pejuang tanpa kekerasan selalu menyerukan “jalan kekerasan melahirkan kekerasan baru, bahkan melahirkan kekerasan lebih rumit dan kompleks.” Jalan pembebasan tanpa kekerasan menekankan penghargaan terhadap kemanusiaan dan rahmat kehidupan, bahwa semua manusia merupakan ciptaan Tuhan, yang memiliki hak dan kehendak untuk hidup.
Jalan pembebasan tanpa kekerasan dapat ditemukan dalam Kristus. Menanggung semua derita, namun dengan tujuan yang pasti adalah memproklamirkan kemerdekaan, yakni menjadikan kembali semua manusia sebagai anak-anak Allah. Yesus adalah tokoh revolusioner bangsa Romawi, sekaligus Penyelamat umat manusia. Dari segi kemanusian-Nya, Yesus memperjuangkan kemerdekaan bangsa-Nya, sementara dari segi keAllahan-Nya, Yesus memperbutkan manusia mencapai keselamatan sebagai anak-anak Allah.

Teologi Pembebasan konteks Papua.
Pertama-tama kita mengingat bahwa Teologi Pembebasan bukan dilahirkan oleh kaum intelektual yang ada dalam kemapanan dan kesejahteraan, melainkan dicetuskan oleh mereka yang lemah, miskin tersisikan dan menderita. Teologi Pembebasan dilahirkan dari perasaan dan pengalaman ketertindasan. Teologi pembebasan merupakan pengungkapan perasaan ketertindasan dan ketakberdayaan, suara-suara perih dari mereka yang diingkari kemanusiaannya. Suara-suara kaum tersisikan itu didengarkan oleh para Teolog dan berusaha untuk diungkapkan. Artinya, Teologi Pembebasan bukan lahir dari sebuah emosi kaum 1intelektual. Teologi Pembebasan juga tidak bisa diadopsi dan dicoppy-paste secara mentah.
Teologi Pembebasan tidak hanya cocok diterapkan di Papua, termasuk Indonesia juga di seluruh dunia wajib diterapkan. Karena Teologi Pembebasan hadir mencerahkan realitas-realitas yang menindas, baik secara fisik maupun psikis. Misalnya, pancasila di Indonesia yang adalah dasar negara. Jika dasar negara tidak dihayati secara benar oleh warga Indonesia, harus dicerahkan, harus direfleksikan dan dikritisi, sehingga Pancasila itu benar-benar menjadi dasar negara yang mengayomi, menyatukan dan memberi peluang untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan sosial yang sama.
Demikian juga di Papua, ketika apa yang menjadi dasar kehidupan, terlebih agama, budaya juga realitas nyata tidak dilaksanakan secara benar, tidak dihayati sepenuhnya, harus dicerahkan, harus dikritisi dan disadarkan situasi untuk kembali kepada akar dan dasar kehidupan orang Papua. Kebudayaan adalah dasar kehidupan orang Papua. kebudayaan merupakan rahmat atau kekuatan menunjukkan eksistensinya di hadapan manusia lain. Melalui budaya orang Papua akan menemukan epistemologi, moralitas juga praktek keimanan yang membebaskan.
Praktek kehidupan yang memenderitakan atau menindas diri:
a.       Cinta kasih yang rapuh mendominasi diri
b.      Tidak bisa menabung dan merencanakan masa depan (sikap budaya peramu)
c.       Hidup dimanja oleh alam
d.      Tidak mengenal sistim dagang dan pasar
e.       Tidak pandai menawarkan jasa dan pasif, sistim tidak terdukung
f.       Gampang iri hati, bukan kepada orang asing melainkan kepada kerabat, teman atau sukunya sendiri. Tidak rela bila teman atau kerabatnya berkembang. Akhirnya berusaha masuk dalam jaringan jahat untuk saling menjatuhkan
g.      Mudah tersinggung, segala sesuatu dijalankan dengan didominasi oleh emosi, bukan dengan intelektual atau pikiran.
h.      Menghormati dan menjamu temu secara berkelebihan, kadang di luar batas kemampuan.
i.        Terlalu jujur, polos sehingga mudah termakan oleh kata-kata manis. Bahkan dapat memberikan hati sendiri.
j.        Pandai berbicara, namun tindakan praksisnya nihil.

Penutup
Teologi Pembebasan di mulai dari akar rumput, mereka yang tidak memiliki apa apa dan menderita. Teologi Pembebasan dicetuskan sebagai perwakilan ungkapan kaum tak bersuara dan direndahkan oleh sistem dan struktur yang tidak mendukung, bahkan menindas. Semua manusia adalah pelaku, pelaksanan Teologi sebagai orang yang percaya pada Allah. Iman kita kepada Allah menuntut kita untuk mempraktekan dalam seluruh hidup. Namun pengejawantahan iman secara salah akan berakibat pada penghancuran, tidak lain adalah penjajahan terhadap martabat manusia, juga nilai-nilai injili.
Walupun demikian, ruang teologi adalah ruang privat bagi para gembala, yang dipanggil secara khusus. Tugas utama adalah kemampuan para gembala untuk memahami teologi pembebasan dan bagaimana mempraktekan dalam pelayanan. Gembala yang tidak memahami secara memadai tentang teologi pembebasan tidak lain adalah mempraktekan doktrinasi dan menjalankan formalisme baku yang membekukan. Kalau pun berjuang mempraktekan namun tidak lain merupakan penyesatan dan pengalienasian.

Daftar Pustaka
Sumber buku
Budi, Hartono, Teologi, Pendidikan & Pembebasan, Kanisius, Yogyakarta, 2007
Dister, Nico Syukur, Pengantar Teologi Kanisius, Yogyakarta, 2007
Gutierrez, Gustavo,  “Contestation in Latin Amerca” , consilium (i), Vol.8, No.7, 1997
Ignacio, Ellacuria,  Freedom Made Flesh: The Mission of Christ and His Church, Obis Books, New York: 1973
Nitiprawiro, Francis Wahono, Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis dan Isinya, LKiS, Yogyakarta, 2008
Subrino, Jon & Hernandes, Juan, Teologi Solidaritas, Kanisius, Yogyakarta,  1988
Sumber Dokumen Gereja

Ensiklik Yohanes  Paulus II, Missi Dei,
Konsili Vatikan II, Dekrit, “Ad Gentes,” Tentang Kegiatan Misioner Gereja
Konsili Vatikan II, Lumen Gentium, Konstitusi Dokmatis tentang Gereja
Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes, konstitusi pastoral tentang Gereja di dunia dewasa ini, art. 1



[1]Teologi Pembebasan merupakan salah satu cabang dari ilmu pengetahuan Teologi.  Teologi  memiliki aneka macam cabang. Misalnya, teologi skolastika, teologi dokmatik, teologi sistematis, teologi fundamental, teologi biblis, teologi agama-agama, teologi kontekstual, teologi moral, teologi spiritual, dll. Lih., Nico Syukur Dister, Pengantar Teologi (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 37. Teologi Pembebasan sendiri memiliki aneka cabang, diantaranya; Dalit, Minjung, Hitang, Teologi Afrika, Tologi Kontekstual, Teologi Feminis.
[2]Francis Wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis dan Isinya, (Yogyakarta: LKiS, 2008), hlm. 1
[3]Ibid., Francis, Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis dan Isinya,  hlm. ix
[4]Ibid., Francis, Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis dan Isinya,  hlm. 38-44
[5]A., Suryawasita, Teologi Pembebasan: Gustavo Gutierrez (Yogyakarta: Jendela, 2001), hlm. 20
[6]Bdk., Gustavo Gutierrez, “Contestation in Latin Amerca” , consilium (i), Vol.8, No.7, 1997, hlm. 42
[7]Hartono Budi, Teologi, Pendidikan & Pembebasan, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 74
[8]Ignacio ellacuria, “Pedro Arrupe: Renovador de la Vida Religiosa” dalam Revista Latinoamericana de Teologia 22 (Januari-April): 12
[9]Ibid., Hartono Budi, Teologi, Pendidikan & Pembebasan, hlm. 74
[10]Jon Syubrino & juan hernandes, teologi solidaritas, (Yogya: Kanisius, 1988) hlm. 72
[11]Ensiklik Yohanes  Paulus II, “Missi Dei,” Tentang Misi Allah
[12]Konsili Vatikan II, Dekrit, “Ad Gentes,” Tentang Kegiatan Misioner Gereja
[13]Konsili Vatikan II, Lumen Gentium, Konstitusi Dokmatis tentang Gereja
[14]Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes, konstitusi pastoral tentang Gereja di dunia dewasa ini, art. 1
[15]Ibid., ensiklik Missi Dei
[16]Ibid., Hartono Budi, Teologi, Pendidikan dan Pembebasan, hlm. 96

Post a Comment

0 Comments